Friday, November 29, 2013

Rinai by Sinta Yudisia

Judul: Rinai
Penulis: Sinta Yudisia
Penyunting bahasa: Mastris Radyamas
Setting: Pipi Kaira
Desain sampul: Andhi Rasydan
Penerbit: Gizone Books
Jumlah halaman: 400
Cetakan pertama: September 2012
Harga: Rp 35.000
*Novel pertama yang dibeli dengan PO*



Ular...ular...dan ular. Hewan itu terus membuntuti kemana pun Rinai pergi. Hampir selalu muncul di bunga tidur milik Rinai. Ular yang menurut Freud ditafsirkan sebagai kelamin laki-laki. Sebegitu kotorkah pikiran Rinai hingga dia seringkali memimpikan hewan gilik itu. Atau ada maksud lain dari mimpi yang selama ini menghantui dalam tidurnya.

Ular itu mengancam mata. Maka ia tak berani membuka, kecuali memejamkannya rapat-rapat. Jarak demikian dekat, hingga terasa bau lendir napas menyapu muka. Tak diketahui bagaimana ular itu masuk kemari, tahu-tahu telah merambat dan bergantung di langit-langit, mengaitkan ekor, meneliti tiap gerakannya. (h. 194)

Rinai dibesarkan di tengah-tengah keluarga yang memegang teguh filosofi Jawa. Rinai dituntut untuk menjadi wanita yang lembut, mampu menoleransi orang lain, sabar, dan harus selalu mengalah. Begitulah wanita Jawa seharusnya, menurut Bunda Rafika, ibu Rinai yang begitu memegang teguh filosofi Jawa dalam hidupnya. Bunda Rafika yang bisa dikatakan dalam bahasa modern justru lebih tepatnya tertindas karena dia wanita yang harus menurut, sabar, mengalah, dan blablablabla.. Tertindas oleh Eyang Kakung dan Mbah Putri, oleh Pakde Harun dan keluarganya, oleh Ayah, bahkan oleh Guntur Alam, anaknya sendiri. Dengan tetek bengek kejawaan itu, Rinai menurut saat masih kanak-kanak. Semakin beranjak dewasa, mulai terjadi pemberontakan-pemberontakan kecil. Terlebih saat dia kuliah di Surabaya dan tinggal bersama Tante Sofia sementara, yang dianggap sudah agak meninggalkan filosofi Jawa. Tante Sofia lebih apa adanya, tidak ada yang ditutup-tutupi, bahkan terkesan galak.


"Bukan waktu yang mengubah," Tante Sofia menggeleng. "Mbak Rafika toh masih seperti dulu. Kadang, jarak dan perpisahan yang jauh membuat manusia tercerabut dari akarnya. Tante Sofia masih orang Jawa tulen, masih taat pada suami semaksimal mungkin. Namun, ada beberapa hal yang coba Tante buang." (h. 17)

Kali ini Rinai mengambil keputusannya sendiri untuk bergabung bersama tim relawan lain pergi ke Gaza, Palestina bersama rekan setimmnya: Nora Efendi, Amaretta, dan Orion. Nora Efendi adalah dosen Rinai di kampus, sedangkan Amaretta adalah asisten dosen. Secara fisik keduanya sama-sama mudah memikat hati orang lain, bedanya Nora begitu ramah, sedangkan kesan yang dimunculkan Amaretta adalah "horor". Tidak mudah untuk masuk ke Gaza. Pertama, mereka harus menuju Mesir. Dari Mesir, barulah mereka menuju Gaza yang dilapisi oleh pos-pos penjagaan super ketat. Di Gaza, Rinai dan rombongan lain (tim trauma healing, tim medis, dan jurnalis) tinggal di Khan Younis. Di sana mereka sedang tidak berwisata, mereka relawan, untuk daerah konflik pula. Semua dituntut serba cepat.

Warga Gaza memiliki ritual penyambutan tamu yang luar biasa. Mereka rela menahan lapar, tapi tamunya harus berkecukupan. Di era konflik seperti itu, jamuan yang diberikan luar biasa, dagingnya bahkan lebih besar dari seekor ayam biasa. Keesokan harinya, mereka dijamu seolah bukan sebagai relawan, tapi wisatawan. Tim relawan diajak mengunjungi Suq Arbaah, sebuah pasar. Ternyata memang mereka dijadwalkan untuk berkeliling Gaza pada dua hari pertama. Berikutnya adalah Deir al Balah, yaitu salah satu tempat penampungan pengungsi. Di sana, tim trauma healing mengunjungi sebuah SD yang menjadi tempat perkenalan Rinai dengan seorang anak laki-laki bernama Hazem.

Pemuda kecil, dengan rambut coklat dan mata kopi, mendekat. Menyeret langkah, duduk memperhatikan. Nirmeen berbicara sejenak ke arahnya, diikuti anggukan. Rinai tak menyangka, bahasa Inggrisnya cukup fasih. (h. 151)

Hari berikutnya, mereka mengunjungi Asdaa Land, pusat perfilman, rekreasi, dan taman hiburan di Gaza. Mereka juga mengunjungi kementerian perempuan serta kementerian budaya. Keesokannya tim trauma healing berpencar untuk tinggal di rumah-rumah warga Gaza sembari melakukan penelitian tes macam apa yang cocok dengan kebudayaan setempat. Rinai ternyata mendapat jatah tinggal di flat yang dihuni Hazem dan kakak perempuannya yang bisu, Sana'a. Hazem adalah seorang penjual shai (semacam teh). Bersama Hazem, Rinai belajar banyak kebijaksanaan.

Suatu malam, Rinai diminta menemui Taufik, relawan trauma healing lainnya. Di kamarnya, Rinai mendapat sebuah fakta yang mencengangkan mengenai lembaga tempatnya bernaung. Dalam situsnya disebutkan bahwa betapa patut dibelaskasihani warga Palestina. Uang mengalir dengan lancar, tapi apa mereka menyajikan sebuah fakta untuk mendapatkannya? Apa makna mimpi ular yang kerap dialami Rinai?

"Ceritakan padaku, Rinai, apakah betul perang ini membawa kerusakan otak yang parah hingga sebagian besar anak-anak Gaza memiliki IQ di bawah normal dan kepribadian remaja serta orang-orang dewasa berada dalam taraf agresif dan anarkis?" - Taufik (h. 223)

***

Novel ketiga karya Sinta Yudisia yang saya baca. Penceritaannya banyak mirip dengan novel terdahulunya, Existere, dipenuhi detil dan teori-teori psikologi. Nah, untuk kata-kata asing tentang dunia psikologi, jangan khawatir karena pembaca dibantu oleh keberadaan catatan kaki. Namun, Anda dituntut untuk rajin membolak-balik halaman karena catatan kaki tidak disajikan di bagian bawah halaman, tetapi dikumpulkan di halaman hampir terakhir dari novel ini.

Kesamaan lain dengan novel Existere, tokohnya -Rinai- dibuat sebagai seorang mahasiswi jurusan Psikologi. Yang berbeda, di bagian awal pembaca disuguhi sebuah prolog asal muasal munculnya tulisan ini. Di sana penulis bercerita bahwa ada seseorang yang meminta penulis membuat buku tentang secuil kisah hidup Rinai. Saya sendiri menjadi agak bimbang, nyatakah kisah yang saya baca ini, atau fiksi belaka, atau sebagian besar kisah nyata tapi dibumbui dengan beberapa kisah fiksi. Saya sendiri berharap ini adalah kisah nyata. :))

Kekhasan lain dari kisah-kisah yang dituturkan Sinta Yudisia adalah kerumitan konfliknya. Di sini, Rinai tak hanya berkonflik dengan keluarganya, tapi juga dengan rekan setimnya, bahkan tidak jarang Rinai berkonflik dengan hatinya. Jika saya menjadi Rinai, tentunya saya akan bingung juga, menentukan siapa kawan dan siapa lawan.  Saya pun dibuat jengkel oleh keluarga besar Rinai yang 'katanya' menjunjung tinggi filosofi Jawa. Kisah yang dituliskan oleh Sinta Yudisia benar-benar apik dalam mengaduk-aduk emosi pembaca. Hehehe..

Pengalaman Rinai di Gaza membuka mata saya bahwa situasi mereka di sana, meskipun secara fisik porak poranda, jiwa-jiwa rakyat Palestina adalah jiwa-jiwa yang merdeka. Dalam novel ini penulis mengungkapkan betapa tangguhnya mereka, betapa cerdas anak-anak Palestina. Hati kecil saya meyakininya, betapa tidak, saya pernah membaca di salah satu situs berita online pada tahun 2010 bahwa Palestinya bisa mewisudakan belasan ribu penghafal Al Qur'an. Menghafal Al Quran sulit dilakukan oleh jiwa yang penuh tekanan. Sejujurnya saya mengharapkan penulis mencantumkan data-data penelitian atau semacamnya dalam mengungkap keadaan psikologis warga Palestina, sehingga pembaca bisa berkaca pada mereka, bisa menjadikan orang-orang Palestina sebagai inspirasi untuk lebih mendekat pada Yang Maha Kuasa.

Membaca buku ini membuat saya terkagum dengan pribadi mereka, warga Palestina, yang menjunjung tinggi penghormatan pada tamu, meskipun mereka relawan, meskipun mereka adalah orang-orang yang boleh dibilang berbelas kasih atas Palestina. Palestina berani tampil dengan menunjukkan tempat wisata yang masih terjaga, memberika sajian yang bisa dibilang "wah" bagi para tamu, meski mereka harus menahan lapar. Tamu adalah raja. Selain itu, diselipkan juga ketegangan yang dirasakan Rinai saat harus berhadapan dengan tentara Israel yang menembakinya, Hazem, dan Sana'a.

Bumbu romansa tidak terlalu ditonjolkan dalam karya-karya Sinta Yudisia. Tokoh Rinai memang digambarkan memiliki ketertarikan pada beberapa tokoh prianya, tapi perasaan tersebut seringkali ditepis oleh Rinai. Itu saja, tidak lebih.

Dari ketiga novel penulis yang telah saya baca, inilah pertama kali saya dibuat menangis, entah apa yang saya rasa; haru, sedih, atau apa saya juga bingung. ._. Intinya, hati saya tersentuh. Yang saya sayangkan, keapikan penulis merangkai cerita, masih diwarnai dengan beberapa kesalahan pengetikan, misalnya:
Beberapa di antaranya hanya perlu memindai lewat sidik jari, namun perusahaan-perusahaan besar masih merasa yakin untuk melakukan perekrutan lewat biro psikologi. (h. 53)
Kata hubung "namun" adalah kata hubung yang digunakan untuk menyatakan pertentangan antarkalimat, sedangkan implementasinya di atas malah diletakkan dalam satu kalimat.
Otak analisa Rinai bekerja sesuai rambu-rambu psikologis. (h. 61)
Bentuk baku dari kata "analisa" adalah "analisis".
Bunda Rafika pernah menelepon, itupun tak panjang. (h. 86)
Penggunaan partikel "pun" seharusnya dipisah dari kata yang mendahuluinya. Dan masih cukup banyak kesalahan penulisan yang lain.

Secara keseluruhan, saya menikmati membaca novel ini, tersentuh, meskipun kadang berhenti karena terganggu dengan pendeskripsian yang sangat detil.

My Rate:

4 comments:

  1. Belum pernah baca bukunya Sinta Yudisia ^^ baca review ini jadi tertarik untuk baca buku ini >.<

    ReplyDelete
    Replies
    1. Buku2 beliau ini menurutku mencerahkan, menohok juga, gado2 lah..tapi bagus

      Delete
  2. Belum pernah denger nama penulis ini. Penerbitnya juga. Tapi sepertinya menarik.
    Untuk ukuran novel setebal 400 hlm, harganya lumayan murah ya? Atau karena beli PO?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Gizone itu termasuk lininya indiva deh kang, buku2nya emang gak semahal terbitan GPU ato penerbit lokal yang udah ternama. Ditambah, pas PO, diskon 20% :DD

      Delete

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...