Penulis: Winna Efendi
Editor: Ayuning, Gita Romadhona
Proofreader: Mita M. Supardi, Resita Wahyu Febiratri
Penerbit: Gagas Media
Jumlah halaman: 340
Cetakan kedua: 2013
*Pinjem ke Lulu*
Adakalanya manusia ingin diizinkan untuk memutar waktu dan kembali ke masa lalu, memperbaiki semuanya.
Maximilian Prasetya (Max)
Buat gue, cahaya adalah konsep universal, tetapi sebenarnya sangat pribadi. Setiap orang dapat melihatnya, merasakannya, tetapi persepsi mereka mengenainya bervariasi, tergantung emosi dan pengalaman dari sang penglihat. (h. 8)
Gue adalah seorang light addict, sejarahnya bisa di baca di bab pertama. Suatu hari gue menemukan sebuah walkman jadul dan sudah tak berbentuk di counter Lost and Found kampus. Gue pikir walkman ini tidak ada pemiliknya karena sepertinya sudah lama berada di sana. Eh, tiba-tiba pas gue lagi tergesa-gesa menuju kelas berikutnya, ada seorang cewek yang manggil gue dan minta walkman itu. Begitulah sejarah gue ketemu Laura Winardi, perempuan yang jadi temen nongkrong di Prudence (coffee shop favorit gue), dan akhirnya jadi cewek gue dan sekaligus mantan.
Sekarang gue ada di Melbourne, setelah mengikuti tour setahun keliling dunia dan bekerja di New York. Gue kangen Laura dan mengajaknya meet up di Prudence, di corner favorit kami dulu. Kami pun mengobrol banyak, obrolan yang tidak pernah kami bahas sebelumnya, contohnya kenapa gue bisa jatuh cinta sama Laura. Dan gue cukup penasaran apa yang terjadi dengan kehidupan Laura setelah gue tinggal ke New York dan keliling dunia, begitu pun dia. Jadi, setelah putus, sekarang status gue just friends sama Laura. Tapi gue gak yakin dengan perasaan gue sendiri. Can we be just friends? Benarkah gue ingin menjadi sekedar teman untuk Laura? Bagaimana dengan Laura?
Laura Winardi (Laura)
Aku bekerja di sebuah stasiun radio di Melbourne dengan shift malam. Dan malam itu, ketika aku sedang siaran, sebuah pesan singkat dari Max masuk ke telepon genggamku. Kami pun bertemu di Prudence dan memesan kopi hitam, seperti biasanya, di masa lalu. Cukup banyak yang diperbincangkan malam itu, terutama tentang masa-masa selama kami sudah tidak saling mengisi satu sama lain. Kemudian max menyebutnya dengan istilah "catching up", berbincang, berdebat, dan semacamnya. Hari-hari berikutnya, kami melakukan kegiatan-kegiatan yang selama pacaran rutin kami lakukan bersama, tapi kali ini dengan status berbeda. Kami hanya berteman. Aku dan Max adalah orang yang berbeda sekarang.
Hingga Max menceritakan bahwa setelah putus denganku, dia pernah pacaran dengan Viv. Aku tidak suka cara Max menyebut namanya. Cee, sahabatku, my room mate, tahu tentang pertemananku dengan Max. Dia tidak yakin kalau kami akan benar-benar bisa hanya berteman.
Cee memiliki pacar baru, namanya Evan. Kupikir dia akan seperti mantan-mantan Cee sebelumnya, yang tidak pernah cocok denganku. Aku salah, ternyata kami memiliki selera musik yang sama dan aku nyaman bersamanya. Entah perasaan macam apa ini.
Tangisan tidak hanya diperuntukkan bagi orang-orang lemah. Tangisan diciptakan untuk orang-orang kuat. Untuk mengingatkan mereka bahwa kesalahan adalah sesuatu yang wajar, dan tidak apa-apa jika sesekali kita merasakan takut, sesal, ataupun sedih. (h. 176-177)
Simak kelanjutan kisah Max dan Laura dalam Melbourne: Rewind.
Terima kasih kepada Lulu yang telah memberi saya kesempatan untuk mencicip STPC yang satu ini.
Jujur, ini buku pertama dari serial STPC dan karya Winna Efendi yang pertama saya baca. Gaya penulisan Winna yang mengalir membuat saya sangat menikmati membaca novel ini. Novel yang diceritakan dari sudut pandang Max dan Laura secara bergantian memang memiliki tema yang sudah tidak asing, yaitu Cinta Lama Bersemi Kembali (CLBK). Namun, eksekusi yang dilakukan Winna sangat baik, terutama dari segi pemilihan kata dan perangkaian kalimatnya. Hal ini membuat pembaca tidak ragu untuk mencomot kalimat-kalimat di dalamnya dan menuliskannya kembali dalam memori mereka.
Pembaca akan menemukan banyak kalimat campuran berbahasa Inggris dan Indonesia di dalamnya. Tidak heran karena setting tempat novel ini adalah Melbourne, Australia. Sayangnya, nuansa Melbourne masih kurang terasa, sehingga nuansa judul yang seolah menjanjikan pembacanya untuk turut sera berjalan-jalan di Melbourne pun menjadi tidak berarti. Meskipun bukan novel traveling, tidak ada salahnya sedikit memperdalam penjabaran setting tempatnya, sehingga judul Melbourne sendiri benar-benar membekas di hati pembaca.
Sedikit saya ceritakan tentang bagian dalam buku. Di tiap awal bab, disisipkan penggalan lagu. Begitu pula dalam potongan-potongan ceritanya, potongan lagu akan banyak pembaca jumpai. Bagi mereka yang penggemar musik mungkin akan langsung mencari lagu tersebut dan memutarnya sambil membaca buku ini, sehingga feel dari kisah roman Max dan Laura bisa lebih terasa lagi, hehe. Selain itu, disisipkan pula gambar tentang lokasi yang akan menjadi setting cerita. Page border-nya pun tergolong unik, tapi kurang pas menurut interpretasi saya. Jika melihat page border-nya, saya rasanya sedang membaca sebuah kisah klasik dari sebuah buku tua. Sampul mukanya deberi efek seperti kertas yang dilipat dulu sebelum direntangkan kembali, ada efek bekas lipatan kertas tersebut, unik.
Melbourne diceritakan dengan alur maju-mundur. Cukup mudah dikenali kapan alur sedang begerak maju atau mundur, tapi kadang perpindahan tersebut kurang mulus. Saat saya sedang membaca kisah masa kini, di paragraf berikutnya tiba-tiba dikisahkan tentang masa lalu tanpa memberi ancang-ancang terlebih dahulu. Konflik ceritanya tidak terlalu rumit, cukup untuk genre roman dengan target pembaca usia anak SMA-kuliah, dan sebagai camilan bagi mereka yang berusia di atas itu. *IMHO :))
Karakterisasinya cukup jelas, meskipun tidak dijabarkan oleh penulis. Namun, dari tindak tanduknya dalam cerita, pembaca akan mudah mengenali mereka. Saya hampir saja memiliki karakter favorit, tapi prinsip bahwa saya akan kurang respek dengan perokok masih terpatri dalam hati. Max lah karakter yang hampir menjadi favorit saya, Max yang cerdas, dengan segala konsep cahayanya. Ternyata belakangan saya menemukan bahwa Max merokok dan pernah tidur dengan perempuan. Engg, efek tinggal di luar negeri mungkin ya. Namun, hal ini sangat potensial menurunkan ratingnya di mata saya. Wkwkwk.
Akhir kata, saya cukup puas membaca STPC yang satu ini. Dan sepertinya akan membaca karya Winna Efendi lainnya. Saya kecanduan kalima-kalimat manis dan quoteable-nya.
My Rate:
Selalu mau baca kisah "setiap tempat punya cerita" u.u
ReplyDeleteApalagi tulisan mbak Winna Effendi. Aku selalu tersentuh dan langsung melahap habis karya mbak berwajah oriental ini >.<
Quotenya diperbanyak ya :D *suka banyak quote-quote novel soalnya >.< hihihii
"Tangisan diciptakan untuk orang-orang kuat. Untuk mengingatkan mereka bahwa kesalahan adalah sesuatu yang wajar, dan tidak apa-apa jika sesekali kita merasakan takut, sesal, ataupun sedih."
Nice review :D ****
Waa, thanks masukannya. ;)
DeleteNovel ini memang spesial mbak karena kita seperti diajak mendengarkan lagu dalam bentuk novel. Narasinya juga bagus, apalagi karakternya.
ReplyDeleteSayangnya aku gak terlalu suka lagu-lagu. Lebih suka instrumental. Jadi gak terlalu ngeh sama lagu-lagunya. >_<
DeleteSudah beberapa kali ikut GA yang berhadiahkan buku ini tapi masih zonk terus. hehehehe
ReplyDeleteSatu hal yang aku suka dari karya-karya Winna itu adalah quote-quotenya.
Nice review
-Tara Kinsei-
Wih, kalau msh blm baca, kayaknya kamu harus ikut yang ini deh >> http://dinoybooksreview.wordpress.com/2013/10/28/interactive-quiz-with-winna-efendi/
DeleteSetelah baca review disini dan di beberapa tempat lainnya, aku jd penasaran dan baca karya ini deh.
ReplyDeleteKarya Winna Efendi selalu bisa membuat aku betah berjam-jam membacanya dan mengulanginya kembali di waktu lain. Pilihan kata, cara mendeskripsikan tempat, tokoh, pemilihan kata, harmonisasi dialog dan narasinya juga oke banget.
Emang winna pinter bgt merangkai kata-kata.. *_*
DeleteOh ya ampun, selama ini aku kira STPC ini sejenis travel fiction :)) Ternyata malah kesan Melbournenya sendiri kurang dapet. Perlu dipertimbangin lagi nih.
ReplyDeleteKota2 di STPC biasanya jadi setting tempat cerita aja, bukan travel fiction..
DeleteMMM, penasaran sama buku2nya Winna, mau lihat gaya nulis dan diksinya.
ReplyDeleteBagus kok gaya nulisnya mb lin. Bener2 patut dicoba baca. =D
DeletePenasaraaan!! Winna emang kuakui penulis yang keren, meskipun bukan penulis favoritku :)
ReplyDeleteSamaa~
DeleteMeskipun bukan penulis favoritku, tulisannya kuakui juga bagus
Diantara penulis Gagas yang lain, aku paling suka Orizuka dan sedikit dr Winna Efendi. Aku udah baca 3 bukunya kalau ga salah, dan yg paling aku suka itu Remember When. Udah baca blm mbak? Kalau blm, baca deh.. *nyuruh*
ReplyDeleteOrizuka aku penasaran, belum pernah baca satu pun novelnya. Yang Remember When belum pernah baca, ntar pinjem aja ah
DeleteAku udah baca buku ini dan emang bener banyak quote-quote yang bagus dan kalimatnya pun manis semanis permen :D
ReplyDeleteO iya, lagu-lagunya juga bagus lho mbak :)
Tapi aku kurang suka sama yang ini :(
Sayangnya aku gak begitu suka musik, jadi gak ngeh sama lagu-lagu yg ada di novel ini.. :))
DeleteJiahh, kecewa deh dg judulnya Melbourne. Kirain banyak travelingnya. Ternyata ujung-ujungnya romantisme. :(
ReplyDeleteTapi qoute-nya keren sih "Tangisan tidak hanya diperuntukkan bagi orang-orang lemah. Tangisan diciptakan untuk orang-orang kuat. Untuk mengingatkan mereka bahwa kesalahan adalah sesuatu yang wajar, dan tidak apa-apa jika sesekali kita merasakan takut, sesal, ataupun sedih".
-rizka-
Pengen deh koleksi semua STPC, semoga ntar ada bazar buku di kotaku, biar lbh hemat kantong ^^
ReplyDelete