Judul: Stardust - Serbuk Bintang
Penulis: Neil Gaiman
Alih Bahasa: Femmy Syahrani Ardiyanto & Herman Ardiyanto
Desain & Ilustrasi Sampul: Satya Utama Jadi
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Jumlah Halaman: 256
Cetakan ke-4: April 2008
*Pinjam ke Lulu*
Apa yang terjadi jika tempat tinggalmu berbatasan dengan Negeri Peri? Inilah yang dialami oleh desa Tembok, mereka berbatasan dengan Negeri Luar Tembok yang tidak lain adalah Negeri Peri. Alkisah, di desa itu hidup seorang pemuda bernama Dunstan Thorn. Pada pekan raya yang kesembilan, dia bertemu dengan seorang gadis peri tak bernama di sebuah kios bunga. Pertemuan itu membawa perubahan sikap pada diri Dunstan. Orang-orang desa pun mengetahui ini akibat dari tenung peri. Tidak lama setelah pertemuannya dengan sang dara, Dunstan Thorn menikah dengan Deasy Hempstock, wanita pujaannya dari desa Tembok. Namun, ternyata tenung dari peri tersebut berefek pada lahirnya seorang anak laki-laki bernama Tristran. Anak itu tiba-tiba muncul di celah yang menghubungkan desa Tembok dengan Luar Tembok.
Tristran tumbuh menjadi pemuda yang pemalu, tetapi dia memiliki gadis incaran. Nama gadis itu adalah Victoria Forester. Suatu malam, Victoria datang ke tempat Tristran bekerja. Tristran pun menawarkan diri untuk mengantarnya pulang dan disetujui. Di dalam perjalanan, Tristran melontarkan rayuan-rayuannya untuk meluluhkan hati Victoria, wanita yang sejak lama diidamkannya. Lalu sampailah Tristran pada rayuan yang akan mengubah hidupnya. Membawakan bintang jatuh untuk Victoria Forester, demi mendapatkan cintanya.
"Dan kalau kubawakan bintang jatuh itu untukmu?" tanya Tristran ringan. "Kau mau memberiku apa? Ciuman? Janjimu akan menikah denganku?"
"Apapun yang kau inginkan," kata Victoria geli. (h. 55)
Dengan berbekal sekuntum bunga tetes salju dan perbekalan lain yang seadanya, berangkatlah Tristran mencari bintang jatuh itu, memasuki Negeri Peri. Di perjalanan nanti dia akan bertemu dengan putra Stormhold dan penyihir yang sama-sama mencari sang bintang jatuh untuk tujuan yang berbeda-beda. Mampukah Tristran membawa bintang jatuh itu dan mempersembahkannya pada sang pujaan hati? Atau haruskah dia mati di tangan salah satu saingannya? Baca kelanjutan kisahnya dalam Stardust - Serbuk Bintang.
"Apa," tanyanya, dalam nada yang dia yakin terdengar agung dan menegur, "yang membuatmu membayangkan bahwa dara-kasihku menugaskan pekerjaan konyol kepadaku?" - Tristran Thorn (h.86)
***
Sebelum membaca bukunya, jaman kuliah dulu saya sempat ditawari oleh teman kos untuk menonton filmnya, versi DVD sih. Tapi waktu itu gak jadi nonton, jadinya nonton koleksi filmnya yang lain. Nah, baru-baru ini saya tahu, kalau ternyata film tersebut adalah adaptasi dari sebuah novel karangan Neil Gaiman. Yak, mari kita bahas novelnya saja.
Awalnya, saya kurang bisa mencerna mau dibawa kemana kisah yang dituturkan oleh penulis, tapi semakin jauh saya membaca, saya pun makin memahaminya, "Begini toh jalan ceritanya." Dimulai dari penjelasan tentang latar belakang tiap tokoh dari novel, mewajibkan pembacanya untuk bersabar dalam menikmati novel ini. Novel ini tidak langsung menyajikan sebuah petualangan, tapi terlebih dahulu memberi bekal pembaca untuk nantinya bisa memahami novel ini dengan baik, mengapa tokoh A begini, mengapa tokoh B begitu. Nah, dari sini terlihat kalau alurnya bergerak maju. Saya sangat menyukai desain sampul muka edisi terjemahannya, dengan warna coklat dan gradasinya, ditambah efek retak seperti daun kering. Efek kilap pada tulisan judul, nama penulis dan ornamen bintangnya menambah cantik sampul muka novel ini.
Imajinasi Gaiman dalam untuk menciptakan novel ini tidak perlu diragukan lagi. Untuk novel yang satu ini memang ditargetkan kepada pembaca dewasa (bukan cuma anak-anak kan yang suka dongeng?). Mengingat ada beberapa adegan yang cukup vulgar dan berdarah-darah, tentu penargetan ini tidaklah keliru, meskipun tingkat berdarah-darahnya novel ini masih di bawahnya novel The Book of Lost Things karya John Connolly yang pernah saya review di sini. Dari novel ini, saya juga mendapatkan kosakata baru, sepeti cerpelai (sebelumnya saya tidak tahu cerpelai itu hewan seperti apa), sirap, dan bubung. Selain itu, saya tidak mengalami masalah dengan ukuran dan jenis hurufnya, bersahabat.
Saya selalu menyukai novel yang seolah berkomunikasi langsung dengan pembaca. Saya seperti mendengar sendiri seseorang sedang mendongeng di samping saya (it's just my imagination). Sayangnya, ada dalam novel ini ada beberapa hal yang menurut saya masih perlu penjelasan, seperti kejadian apa saja yang menimpa Tristran dan sang bintang jatuh setelah Tristran memutuskan untuk tinggal di Negeri Peri. Kemudian, ada juga adegan yang saya harapkan ada, tapi tidak dimunculkan, sehingga terkesan ada "lubang" dalam cerita. Saya penasaran bagaimana suasana di kediaman Dunstan Thorn dan Daisy Hempstock setelah kedatangan Tristran yang tiba-tiba, terutama soal reaksi Daisy sebagai istri sah dari Dunstan Thorn.
Soal karakter tokohnya, melalui jalan cerita, sudah cukup tergambarkan dengan baik. Saya dapat membedakan karakter antartokohnya, kecuali ketika ada cerita tentang dua nenek sihir atau salah satunya. Saya kerap kali tertukar antara nenek sihir yang bernama Madam Semele dan Morwanneg, nenek tertua dari tiga penyihir bersaudari, terutama di bagian akhir cerita. Ah, ini mungkin efek otak saya yang kurang prima ya. Mungkin lain kali saya akan membaca ulang novel ini, biar lebih mudheng, mungkin kalau saya sudah tidak lagi memiliki timbunan (artinya entah kapan, saya juga gak tahu).
Di luar itu, masih ada penggunaan kata yang salah tempat, yaitu kata namun, yang seharusnya digunakan untuk menghubungkan dua kalimat dan letaknya ada di awal kalimat. Masih ada juga yang kurang tanda baca koma, misalnya setelah kata "namun" pada awal kalimat. Saya juga menemukan frase "orang gasing" di halaman 18, entah maksudnya "orang asing" dan ada kesalahan pengetikan, atau seperti apa. Terakhir, saya merekomendasikan novel ini untuk kamu yang sedang mencari selingan novel tanggung, tidak terlalu tipis dan tidka terlalu tebal, dengan bumbu dongeng-dewasa. :)
My Rate:
Awalnya, saya kurang bisa mencerna mau dibawa kemana kisah yang dituturkan oleh penulis, tapi semakin jauh saya membaca, saya pun makin memahaminya, "Begini toh jalan ceritanya." Dimulai dari penjelasan tentang latar belakang tiap tokoh dari novel, mewajibkan pembacanya untuk bersabar dalam menikmati novel ini. Novel ini tidak langsung menyajikan sebuah petualangan, tapi terlebih dahulu memberi bekal pembaca untuk nantinya bisa memahami novel ini dengan baik, mengapa tokoh A begini, mengapa tokoh B begitu. Nah, dari sini terlihat kalau alurnya bergerak maju. Saya sangat menyukai desain sampul muka edisi terjemahannya, dengan warna coklat dan gradasinya, ditambah efek retak seperti daun kering. Efek kilap pada tulisan judul, nama penulis dan ornamen bintangnya menambah cantik sampul muka novel ini.
Imajinasi Gaiman dalam untuk menciptakan novel ini tidak perlu diragukan lagi. Untuk novel yang satu ini memang ditargetkan kepada pembaca dewasa (bukan cuma anak-anak kan yang suka dongeng?). Mengingat ada beberapa adegan yang cukup vulgar dan berdarah-darah, tentu penargetan ini tidaklah keliru, meskipun tingkat berdarah-darahnya novel ini masih di bawahnya novel The Book of Lost Things karya John Connolly yang pernah saya review di sini. Dari novel ini, saya juga mendapatkan kosakata baru, sepeti cerpelai (sebelumnya saya tidak tahu cerpelai itu hewan seperti apa), sirap, dan bubung. Selain itu, saya tidak mengalami masalah dengan ukuran dan jenis hurufnya, bersahabat.
Saya selalu menyukai novel yang seolah berkomunikasi langsung dengan pembaca. Saya seperti mendengar sendiri seseorang sedang mendongeng di samping saya (it's just my imagination). Sayangnya, ada dalam novel ini ada beberapa hal yang menurut saya masih perlu penjelasan, seperti kejadian apa saja yang menimpa Tristran dan sang bintang jatuh setelah Tristran memutuskan untuk tinggal di Negeri Peri. Kemudian, ada juga adegan yang saya harapkan ada, tapi tidak dimunculkan, sehingga terkesan ada "lubang" dalam cerita. Saya penasaran bagaimana suasana di kediaman Dunstan Thorn dan Daisy Hempstock setelah kedatangan Tristran yang tiba-tiba, terutama soal reaksi Daisy sebagai istri sah dari Dunstan Thorn.
Soal karakter tokohnya, melalui jalan cerita, sudah cukup tergambarkan dengan baik. Saya dapat membedakan karakter antartokohnya, kecuali ketika ada cerita tentang dua nenek sihir atau salah satunya. Saya kerap kali tertukar antara nenek sihir yang bernama Madam Semele dan Morwanneg, nenek tertua dari tiga penyihir bersaudari, terutama di bagian akhir cerita. Ah, ini mungkin efek otak saya yang kurang prima ya. Mungkin lain kali saya akan membaca ulang novel ini, biar lebih mudheng, mungkin kalau saya sudah tidak lagi memiliki timbunan (artinya entah kapan, saya juga gak tahu).
Di luar itu, masih ada penggunaan kata yang salah tempat, yaitu kata namun, yang seharusnya digunakan untuk menghubungkan dua kalimat dan letaknya ada di awal kalimat. Masih ada juga yang kurang tanda baca koma, misalnya setelah kata "namun" pada awal kalimat. Saya juga menemukan frase "orang gasing" di halaman 18, entah maksudnya "orang asing" dan ada kesalahan pengetikan, atau seperti apa. Terakhir, saya merekomendasikan novel ini untuk kamu yang sedang mencari selingan novel tanggung, tidak terlalu tipis dan tidka terlalu tebal, dengan bumbu dongeng-dewasa. :)
My Rate:
Udah pernah lihat filmnya, tapi belum baca bukunya..
ReplyDeleteJadi penasaran nih :)
filmnya baguskah?
DeletePunya bukunya gara-gara diskon gramed tapi belum dibaca. Kayaknya awalnya agak bosenin yah?
ReplyDeleteIyaaa..mulai agak seru ya pas pertualangan Tristan dimulai..
DeleteHalo, Kak..
ReplyDeletesalam kenal ya ^^
review keren.. jadi penasaran sama buku ini :)
Salam kenal juga..yuk dicari pinjemannya.. *hemat
Deletekayaknya tipikal novel Gaiman itu mbingungin di awal, tapi setelah kita 'dapet' maksudnya jadi bikin kita tercengang sama ide jeniusnya ya :D
ReplyDeleteGaiman itu ceritanya kbanyakan out of the box sih.. :v
DeleteAku punya buku ini.... tapi belom sempet2 baca... liat review mba jadi penasaran... buka ah ^^
ReplyDeleteThis comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDeleteBukunya udah difilmin ya.. baru tau..
ReplyDeleteBuku yang bagus... aku sudah membacanya beberapa kali. Dan tidak pernah bosan.
ReplyDelete