Monday, May 26, 2014

Adriana by Fajar Nugros & Artasya Sudirman

Judul: Adriana: Labirin Cinta di Kilometer Nol
Penulis: Fajar Nugros & Artasya Sudirman
Penyunting: Azzura Dayana & Nessy Apriyani
Pewajah sampul: Windu Tampan
Penata letak: Novi Khansa
Penerbit: Lingkar Pena
Jumlah halaman: 400
Cetakan I: Januari 2010
*Beli di obralan Gramedia Matraman*


Mamen
Pertemuan pertama di lift Perpustakaan Nasional benar-benar membuatku penasaran dengan sosoknya, gadis cantik berambut sebahu yang bukunya jatuh berserakan saat itu. Alih-alih dijawab langsung, tawaranku untuk bertemu lagi malah dijawab dengan teka-teki.

Jika karpet lift itu berganti lima kali, aku akan menjumpaimu di tempat dua ular saling berlilitan pada tongkatnya, saat proklamasi dibacakan.

Aaaargh, otakku yang kecil ini harus kupaksa untuk bisa menerjemahkan maksud kata-katanya itu. Buntu, kuceritakan hal ini pada Sobar, sahabatku dari SMA yang terkenal pintar dari dulu. Dengan bantuannya, aku berhasil memecahkan teka-teki ini. Namun, di tempat dan waktu yang ditunjukkan oleh teka-teki itu, aku sama sekali tidak melihat sang gadis. Mungkin Sobar salah. Ketika aku kembali ke Perpustakaan Nasional, seorang ibu penjaga perpus memberiku secarik kertas yang juga berisi teka-teki.


Harinya adalah tiga hari setelah Fatahillah mengusir Portugis dari Pelabuhan Sunda Kelapa. Masanya sampai pada Perang Diponegoro. Namun orang-orang merana itu tahu, saat mati, jasad mereka akan merana terkubur jauh dari tanah tumpah darah mereka sendiri. Aku yang menunggumu adalah Adriana, pada mimpinya yang tak pernah mati.

Ini sih bukan teka-teki, malah seperti potongan paragraf dalam buku sejarah. Mungkin karena kasihan padaku, Sobar memberi tahu, bahwa nama gadis itu ada dalam teka-teki, yaitu Adriana.

Adriana
Cinta lamaku bernama Mamen. Cinta lama, dari SMA. Dulu aku hanya berani mengaguminya dari jauh, curi-curi pandang dan kesempatan tanpa terlalu berharap dia memperhatikanku. Yaaa, aku kan tidak cantik. Tapi sekarang aku harus mendapatkannya. Rencana pertama, menemuinya di perpustakaan nasional. Dari informan yang terpercaya, targetku ini kerap mengunjungi Perpusnas untuk mencari bahan-bahan skripsinya. Kami satu lift dan tidak sengaja bertabrakan saat keluar, buku-bukuku berserakan, dia membantuku dan tiba-tiba mengajakku bertemu lagi. Aku harus membuat otaknya sedikit bekerja, lalu kujawab:

Jika karpet lift itu berganti lima kali, aku akan menjumpaimu di tempat dua ular saling berlilitan pada tongkatnya, saat proklamasi dibacakan.

Sepertinya My Man gagal memecahkan teka-teki itu. Rencana kedua harus kulancarkan. Aku pergi ke Perpusnas untuk menitipkan teka-teki berikutnya. Semoga kali ini dia berhasil memecahkannya dengan otak kecilnya itu.

Harinya adalah tiga hari setelah Fatahillah mengusir Portugis dari Pelabuhan Sunda Kelapa. Masanya sampai pada Perang Diponegoro. Namun orang-orang merana itu tahu, saat mati, jasad mereka akan merana terkubur jauh dari tanah tumpah darah mereka sendiri. Aku yang menunggumu adalah Adriana, pada mimpinya yang tak pernah mati.

Bersama sahabatku, Rinrin, yang biasa kusapa dengan Rincun, aku pergi ke Bogor, ke tempat peristirahatan terakhir Adriana Van Den Bosch dan meletakkan teka-teki berikutnya.

Dia menjual mobilnya untuk membangunku. Temui aku di tempat aku menunjuk. Pada waktu wafatku, Adriana.

Aku menunggu di tempat dan waktu yang telah kutuliskan pada teka-tekiku untuk Mamen, tapi batang hidungnya tak kunjung terlihat. Kubuka makanan yang telah kupesan, dan tertulis sebuah teka-teki baru untukku. Rupanya My Man ingin bermain teka-teki denganku...

***

Tentu sudah sangat banyak beredar novel roman di kancah perbukuan Indonesia. Akan tetapi, novel ini menawarkan sesuatu  yang berbeda dari kesemuanya. Unsur teka-teki, sejarah, dan balutan komedi disisipkan ke dalamnya. Bagi saya, unsur teka-tekinyalah yang menjadi faktor novel ini saya kategorikan sebagai salah satu page turner. Unsur sejarahnya juga cukup kental, sehingga mampu membuka wawasan pembaca yang bisa jadi awam tentang sejarah yang terjadi di ibu kotanya sendiri.

Novel ini lebih banyak diisi oleh percakapan antartokoh, sehingga dapat dibaca dalam waktu yang cukup singkat (kalau mau.. :D). Lumayan membantu bagi orang yang kurang sabaran seperti saya untuk segera membalik halaman berikutnya dan menemukan jawaban dari teka-teki yang ada dalam novel, hehe.

Diceritakan dari sudut pandang campuran, orang pertama dan orang ketiga, novel ini cukup menuntut pembaca untuk terus fokus padanya. Bagi yang tidak fokus, sangat mungkin akan mengalami kebingungan. Pada umumnya, novel ini diceritakan dari sudut pandang orang pertama, yaitu Mamen, yang ditulis oleh Fajar Nugros, dan Adriana, yang ditulis oleh Artasya Sudirman. Namun, di sela-selanya beberapa kali diceritakan dari sudut pandang orang ketiga. Oke, di bagian Adriana saya cukup bisa memahami, karena dusut pandang ini digunakan untuk menceritakan sejarah yang dialami Adriana Van Den Bosch. Sedangkan di bagian Mamen, sudut pandang orang ketiga digunakan untuk menceritakan apa yang terjadi pada Adriana, padahal cerita ini nanti akan diulangi oleh Adriana. IMHO, ini jadinya semacam pemborosan.

Penulisan cerita dari sudut pandang kedua tokoh utama memang rentan pemborosan, yaitu menceritakan ulang apa yang diceritakan oleh salah satu tokoh. Menurut saya lagi, seharusnya kedua tokoh cukup bercerita dengan sistem saling melengkapi, bukan menyalin cukup banyak kalimat yang sudah dimunculkan saat tokoh yang lain bercerita.

Alur penceritaannya juga campuran, maju-mundur. Meskipun sudah ada bintang pemisahnya saat ceritanya sedang flashback, saya masih merasa kurang nyaman. Mungkin karena sebentar-sebentar flashback ya. Jadi agak pusing bolak-balik masa kini dan masa lalu. Bahkan beberapa adegan sempat membuat saya bingung di awal, ini kejadian masa kini atau masa lalu.

Akan tetapi, saya tetap menyukai isi novel ini karena berani menyajikan sesuatu yang berbeda dan membuat saya terus penasaran dengan cerita selanjutnya.



My Rate:


No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...